Minoritas-Mayoritas
Oleh: Soedjati Djiwandono
Sudah
lama kita hendak diyakinkan dan dibohongi, bahwa dalam masyarakat
Pancasila kita tidak mengenal golongan mayoritas dan golongan minoritas.
Sudah saatnya kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri
sendiri seperti itu.
Yang
penting adalah bagaimana kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya
berbagai golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas.
Lebih penting lagi, bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama
secara damai, saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu,
antara berbagai golongan itu dalam masyarakat sebagai suatu bangsa.
Tujuan
utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan prasangka dan
kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan
kesejahteraan bersama.Jalan ke arah tujuan itu amat jauh, berliku-liku,
dan banyak sandungannya.
Kesulitan
mencapai tujuan itu pernah digambarkan demikian. Seorang perantau
bertanya kepada seorang penduduk desa tentang jalan menuju suatu kota
yang menjadi tujuan berikutnya. Jawabnya, “Terus saja ke selatan, lalu
belok ke kiri. Oh, maaf, jangan, jembatannya rusak di situ. Ikuti saja
jalan ke timur. Eh, jangan, jalan itu terlalu berlumpur.”
Orang
desa itu lalu menengadah ke langit, seakan berpikir. Lalu katanya : “
Kalau hendak ke kota itu, mestinya Bapak tidak mulai dari sini.”
Masalah
mayoritas-minoritas ini sejak kerusuhan tgl.13-14 Mei yang lalu telah
semakin menonjol dan menjadi perhatian dan bahan pembicaraan luas,
khususnya yang menyangkut orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa.
Dapat diduga, lebih banyak dari kalangan mereka ini dartipada kelompok
orang-orang lain, minoritas ataupun mayoritas, yang menjadi korban
penjarahan, pembakaran rumahnya, pembunuhan, penganiayan, dan perkosaan,
yang pasti mengakibatkan penderitaan dan trauma yang bisa berlangsung
lama.
Saya
belum berani banyak berbicara tentang hal ini, karena memang sedang
mulai mempelajarinya lagi, melakukan refleksi, dan tukar-menukar pikiran
tentang masalah mayoritas-minoritas ini.Harus saya akui pula sejak
awal, bahwa lebih mudah bagi orang seperti saya ini berpretensi berpikir
lebih jernih, rasional dan objektif, karena beruntung musibah seperti
itu tidak menimpa keluarga ataupun saudara dan teman-teman dekat saya.
Saya
juga sadar, berbicara tentang masalah mayoritas-minoritas, apalagi di
negeri ini, saya memasuki suatu bidang yang penuh kepekaan, emosi, dan
kontroversi. Tetapi kejujuran, keterbukaan, dan kehendak baik yang
mendasarinya memberi saya keberanian untuk melakukannya.
Menghindarinya
dan pura-pura masalah itu tidak ada, menggunakan pendekatan “burung
unta”, pasti tidak akan membantu memecahkannya. Itulah sikap kita selama
ini, juga dalam banyak hal lainnya.
Tentu
saja, golongan atau kelompok minoritas di Indonesia ini bukan hanya
mereka yang kebetulan keturunan Tionghoa. Ada juga kelompok-kelompok
minoritas atas dasar agama, suku, budaya, atau bahasa. Orang-orang yang
beragama Buddha, Hindu, Katolik, Kristen-Protestan, atau suku Batak,
Toraja, Aceh, dsb., juga merupakan kelompok-kelompok minoritas.Tetapi
anehnya, mungkin karena sejarah dan berbagai faktor lainnya, kelompok
Tionghoa inilah, kelompok ras, yang selalu menjadi atau dijadikan
masalah minoritas yang paling menonjol, meskipun terdapat
kelompok-kelompok ras lainnya seperti kelompok Arab.
Ada
keanehan lain. Manakala orang berbicara tentang “mayoritas” di negeri
ini, orang biasanya menunjuk mayoritas Islam. Saya belum faham benar,
mengapa demikian. Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, sudah ada
mayoritas etnis, yaitu suku Jawa, yang sampai sekarang masih merupakan
mayoritas, konon kira-kira 40% dari jumlah penduduk Indonesia.
Tetapi
lama kelamaan saya duga identitas kelompok-kelompok etnis ini semakin
sulit dikenali. Saya berharap hal itu akan berlaku juga pada golongan
minoritas Tionghoa, kalaupun lebih sulit.
Tujuan
integrasi bangsa, atau pembauran kalau kita berbicara tentang golongan
minoritas Tionghoa, tidak berarti harus hilangnya identitas ras atau
etnis, meskipun dapat terjadi secara alamiah. Bagi golongan agama, hal
itu mungkin mustahil terjadi.
Sebenarnya
tidak mudah memberi definisi golongan minoritas. Dapat dikatakan,
golongan-golongan minoritas adalah golongan-golongan yang
anggota-anggotanya mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif dan
seringkali ditempatkan pada kedudukan yang relatif rendah dalam struktur
status dari sistim sosial. Status golongan minoritas secara khusus
terkaitkan dengan latar belakang ras, suku, agama, budaya, atau bahasa.
Kaitan
dengan berbagai latar belakang itu penting. Dari segi jumlah, apa yang
kita mengerti sebagai “golongan atas”, bahkan “menengah atas”, entah
dari segi kekayaan, pendidikan, atau kekuasaan, mereka itu juga
merupakan “minoritas”. Meskipun begitu, mereka itu tidak biasa disebut
kelompok minoritas dalam pengertian yang sama ketika kita berbicara
tentang minoritas Tionghoa atau Kristen di Indonesia.
Contoh-contoh
“minoritas” seperti itu di antaranya adalah pemerintahan Presiden
Saddam Hussein di Irak, yang berasal dari minoritas Islam Suni. Di
Yordania, pemerintahan Raja Hussein berasal dari minoritas Beduin. Rezim
apartheid di Afrika Selatan dulu adalah kelompok minoritas kulit putih.
(Bersambung)
Apakah kedua kelompok itu juga termasuk kelompok sosiaL?
Ya, tentu saja di kategorikan sebagai kelompok sosial
Minoritas ialah kelompok sosial yang
tak menyusun mayoritas populasi total dari voting dominan secara
politis dari suatu kelompok masyarakat tertentu.Minoritas dapat pula
merujuk ke kelompok bawahan maupun marginal. Minoritas sosiologis tak
perlu bersifat numerik sebab dapat mencakup kelompok yang di bawah
normal dengan memandang pada kelompok dominan dalam hal status sosial, pendidikan, pekerjaan,kekayaan, dan kekuasaan politik.Istilah "kelompok minoritas" sering diterapkan bersama dengan wacana hak asasi manusia dan hak kolektifyang mengemuka di abad ke-20.
BAGAIMANA HUBUNGAN ANTARA KEDUANYA?
Mayoritas dan Minoritas
Kinloch
berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah
orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan
memilik derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok lain yang dianggap
sebagai kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan,
dianggap lebih rendah karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik
ataupun mental sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi.
(Kinloch, 1979: 38)
Konsep
mayoritas disini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan dominasi
oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih kecil
daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat politikapartheid dicanangkan
di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih sedikit daripada
jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki
kuasa terhadap kelompok kulit hitam. Selain itu, hubungan antarkelompok
yang didasarkan konsep mayoritas dan minoritas dipengaruhi juga oleh
konsep kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture) yang diangkat oleh Edward M. Bruner.[4] Sebagai
contoh adalah di kota Medan terdiri atas sejumlah kelompok minoritas
tanpa adanya suatu kebudayaan yang dominan sehingga berkembang
persaingan yang ketat antara setiap etnik, dan hubungan antar etnik
terjadi ketegangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar