Jumat, 07 Desember 2012

TUGAS AKTIVITAS NO 1


AKTIVITAS HALAMAN 151
NO 1.

BAHAN TENTANG KELOMPOK MAYORITAS DAN MINORITAS

Kelompok Mayoritas dan Minoritas Harus Saling Memahami
Jakarta, CyberNews. Kelompok mayoritas dan minoritas harus saling memahami dan melindungi hak dan kewajiban masing-
masing kelompok, demikian disampaikan Sekretaris Kabinet, Dipo Alam. "Agar sama-sama mencegah penistaan agama, dan bersama pula mencegah kekerasan antarumat beragama," katanya di Jakarta, Rabu (9/3).
Dipo mengingatkan agar dalam melakukan gerakan politik terselubung, kelompok lintas agama eksklusif tidak mengusung soal agama, dan menamakan sebagai gerakan moral.
Ia meminta semua pihak menghormati pluralisme dalam beragama sesuai dengan UUD dan turunannya dalam SKB Tiga Menteri, bukan dengan mengorbankan kepahaman antara hak dan kewajiban minoritas dan mayoritas.
Ditegaskannya, pemerintah sangat serius dalam memperhatikan hak dan kewajiban antarumat beragama baik berdasarkan konstitusi maupun pengadilan/hukum bila terjadi konflik kekerasan.
"Tidak perlu lagi diajari, kita masing-masing tahu makna dalam asas Pancasila. Janganlah satu dua kejadian, yang bersama kita kutuk sebagai kekerasan dengan alasan keyakinan agama, kemudian seolah dengan mudah digeneralisasikan menganggap pemerintah lalai dan melakukan pembiaran kekerasan," ujarnya.
Konflik umat Islam dengan Ahmadiyah sudah berlangsung lama, tidak hanya terjadi di pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dipo mengingatkan, tokoh agama memiliki tanggung jawab yang sama dengan pemerintah, baik di pusat maupun daerah, di era demokrasi sebagai pemangku kekuasaan, termasuk juga media untuk bersama-sama menyejukkan kerukunan beragama.
"Bukan sebaliknya, gaduh memperkeruh kerukunan beragama antara minoritas dan mayoritas. Ingat, konflik horizontal yang pernah kita alami sangatlah pahit dan memilukan. Itu memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyelesaikannya," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, dalam konferensi pers di Kantor Maarif Institute, Juru Bicara Badan Pekerja Gerakan Lintas Agama, Fajar Riza Ul Haq mengatakan, gerakan tokoh lintas agama sama sekali tidak pernah secara kolektif bicara polemik Ahmadiyah.
"Namun kekerasan terhadap kelompok minoritas harus disikapi serius oleh negara, karena melindungi minoritas adalah amanat konstitusi, dan yang menjadi titik tekan gerakan ini," ujarnya



Kelompok Mayoritas-Minoritas sebuah Keniscayaan
Reporter: Humaidi
Auditorium,BERITA UIN Online -Adanya kelompok mayoritas dan minoritas dalam tatanan sosial kemasyarakatan dan keagamaan merupakan keniscayaan. Sebab, hal itu sebagai takdir Tuhan, sehingga di dunia mana pun, tak terkecuali di Indonesia, kedua kelompok tersebut akan selalu ada.
Hal itu dikatakan Pembantu Rektor Bidang Pengembangan Lembaga dan Kerja Sama UIN Jakarta, Dr Jamhari, pada seminar bertema "Konflik Minoritas Agama dan Peran Lembaga Pendidikan Tinggi Islam," di Auditorium Prof Dr Harun Nasution, Sabtu (5/3).
Narasumber lain yang hadir adalah dosen IAIN Raden Intan, Lampung, Dr. Syamsuri Ali, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Bandung, Dr. Acep Arifuddin, dan Wini Trianitas. Ketiganya adalah alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Menurut Jamhari, munculnya kelompok minoritas dan mayoritas karena diakibatkan oleh beberapa faktor seperti imigrasi, politik dan ekonomi. Khusus di negara Eropa, faktor imigrasi merupakan faktor utama. Ia mencontohkan imigrasi umat Islam ke beberapa negara Eropa yang berasal dari beberapa negara Timur Tengah, seperti Pakistan, Afganistan, dan Irak.
“Ketika para imigran hadir dengan jumlah besar dan membentuk sebuah identitas tersendiri, di sinilah muncul konflik kelompok minoritas dan mayoritas,” kata Jamhari.
Lebih jauh Jamhari menjelaskan bahwa ketika para imigran tersebut berkelompok dan membentuk sebuah identitas, maka terjadilah apa yang disebut sebagai perebutanpoilitical identity. Bagi yang minoritas, mereka tinggal bersama dan membangun jaringannya sendiri. Mereka solid baik dalam ekonomi maupun budaya.
Ada beberpa model yang dilakukan oleh beberap negara dalam menyelesaikan konflik minoritas dan mayoritas. Jika melihat kepada sejarah masa lalu akan ditemukan sesuatu yang buruk telah terjadi. Hal tersebut dikarenakan cara-cara yang digunakannya, misalnya, pertama, dengan cara pembinasaan, seperti kasus pembinasaan umat Yahudi di beberapa negara di Eropa atau umat Muslim di Bosnia. Kedua, dengan cara asimilasi secara paksa untuk mengikuti budaya mayoritas, seperti di masa Orde Baru. Ketiga, dengan cara mengisolasi kelompok minoritas.
“Negara yang dikuasai oleh agama justru sangat sulit dalam menyelesaikan konflik minoritas agama, seperti yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sebaliknya, model negara modern (modern state) yang memisahkan antara agama dan negara seperti Amerika, Kanada, dan Selandia Baru cukup berhasil dalam menyelesaikan konflik minoritas dan mayoritas,” katanya.
Dalam modelmodern stateini, jika ada konflik yang berkaitan dengan kelompok-kelompok tertentu, maka konflik tersebut harus diselesaikan di pengadilan. Walaupun demikian, tidak seluruh negara yang menggunakan model modern state dapat berhasil dalam menyelesaikan konflik minoritas dan mayoritas. Contohnya adalah Filifina yang mana undang-undang yang diterapkan seratus persen mencontek negara Amerika.
Adapun upaya yang telah dan akan dilakukan oleh SPs UIN Jakarta sebagai lembaga perguruan tinggi Islam dalam mengatasi konflik mayoritas-minoritas yaitu berpijak pada pemikiran yang dikembangkan oleh Prof Dr Harun Nasution dalam bukunyaIslam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Menurut Jamhari, Harun Nasution yang mantan Rektor IAIN Jakarta itu memberikan inspirasi untuk selalu toleran dan melihat agama tidak hanya satu aspek, tetapi dari berbagai aspek, seperti aspek filsafat, fiqih, sosial, dan teologi. “Kalau Anda bisa menoleransi perbedaan dalam Islam, maka Anda bisa menoleransi perbedaan di luar Islam,” katanya.







Description: http://www.unisosdem.org/images/spacer.gif  Oleh: Soedjati Djiwandono

Sudah lama kita hendak diyakinkan dan dibohongi, bahwa dalam masyarakat Pancasila kita tidak mengenal golongan mayoritas dan golongan minoritas. Sudah saatnya kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri sendiri seperti itu.
Yang penting adalah bagaimana kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya berbagai golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas. Lebih penting lagi, bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama secara damai, saling menerima, saling menghormati, dan saling membantu, antara berbagai golongan itu dalam masyarakat sebagai suatu bangsa.
Tujuan utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan prasangka dan kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan kesejahteraan bersama.Jalan ke arah tujuan itu amat jauh, berliku-liku, dan banyak sandungannya.
Kesulitan mencapai tujuan itu pernah digambarkan demikian. Seorang perantau bertanya kepada seorang penduduk desa tentang jalan menuju suatu kota yang menjadi tujuan berikutnya. Jawabnya, “Terus saja ke selatan, lalu belok ke kiri. Oh, maaf, jangan, jembatannya rusak di situ. Ikuti saja jalan ke timur. Eh, jangan, jalan itu terlalu berlumpur.”
Orang desa itu lalu menengadah ke langit, seakan berpikir. Lalu katanya : “ Kalau hendak ke kota itu, mestinya Bapak tidak mulai dari sini.”
Masalah mayoritas-minoritas ini sejak kerusuhan tgl.13-14 Mei yang lalu telah semakin menonjol dan menjadi perhatian dan bahan pembicaraan luas, khususnya yang menyangkut orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Dapat diduga, lebih banyak dari kalangan mereka ini dartipada kelompok orang-orang lain, minoritas ataupun mayoritas, yang menjadi korban penjarahan, pembakaran rumahnya, pembunuhan, penganiayan, dan perkosaan, yang pasti mengakibatkan penderitaan dan trauma yang bisa berlangsung lama.
Saya belum berani banyak berbicara tentang hal ini, karena memang sedang mulai mempelajarinya lagi, melakukan refleksi, dan tukar-menukar pikiran tentang masalah mayoritas-minoritas ini.Harus saya akui pula sejak awal, bahwa lebih mudah bagi orang seperti saya ini berpretensi berpikir lebih jernih, rasional dan objektif, karena beruntung musibah seperti itu tidak menimpa keluarga ataupun saudara dan teman-teman dekat saya.
Saya juga sadar, berbicara tentang masalah mayoritas-minoritas, apalagi di negeri ini, saya memasuki suatu bidang yang penuh kepekaan, emosi, dan kontroversi. Tetapi kejujuran, keterbukaan, dan kehendak baik yang mendasarinya memberi saya keberanian untuk melakukannya.
Menghindarinya dan pura-pura masalah itu tidak ada, menggunakan pendekatan “burung unta”, pasti tidak akan membantu memecahkannya. Itulah sikap kita selama ini, juga dalam banyak hal lainnya.
Tentu saja, golongan atau kelompok minoritas di Indonesia ini bukan hanya mereka yang kebetulan keturunan Tionghoa. Ada juga kelompok-kelompok minoritas atas dasar agama, suku, budaya, atau bahasa. Orang-orang yang beragama Buddha, Hindu, Katolik, Kristen-Protestan, atau suku Batak, Toraja, Aceh, dsb., juga merupakan kelompok-kelompok minoritas.Tetapi anehnya, mungkin karena sejarah dan berbagai faktor lainnya, kelompok Tionghoa inilah, kelompok ras, yang selalu menjadi atau dijadikan masalah minoritas yang paling menonjol, meskipun terdapat kelompok-kelompok ras lainnya seperti kelompok Arab.
Ada keanehan lain. Manakala orang berbicara tentang “mayoritas” di negeri ini, orang biasanya menunjuk mayoritas Islam. Saya belum faham benar, mengapa demikian. Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, sudah ada mayoritas etnis, yaitu suku Jawa, yang sampai sekarang masih merupakan mayoritas, konon kira-kira 40% dari jumlah penduduk Indonesia.
Tetapi lama kelamaan saya duga identitas kelompok-kelompok etnis ini semakin sulit dikenali. Saya berharap hal itu akan berlaku juga pada golongan minoritas Tionghoa, kalaupun lebih sulit.
Tujuan integrasi bangsa, atau pembauran kalau kita berbicara tentang golongan minoritas Tionghoa, tidak berarti harus hilangnya identitas ras atau etnis, meskipun dapat terjadi secara alamiah. Bagi golongan agama, hal itu mungkin mustahil terjadi.
Sebenarnya tidak mudah memberi definisi golongan minoritas. Dapat dikatakan, golongan-golongan minoritas adalah golongan-golongan yang anggota-anggotanya mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif dan seringkali ditempatkan pada kedudukan yang relatif rendah dalam struktur status dari sistim sosial. Status golongan minoritas secara khusus terkaitkan dengan latar belakang ras, suku, agama, budaya, atau bahasa.
Kaitan dengan berbagai latar belakang itu penting. Dari segi jumlah, apa yang kita mengerti sebagai “golongan atas”, bahkan “menengah atas”, entah dari segi kekayaan, pendidikan, atau kekuasaan, mereka itu juga merupakan “minoritas”. Meskipun begitu, mereka itu tidak biasa disebut kelompok minoritas dalam pengertian yang sama ketika kita berbicara tentang minoritas Tionghoa atau Kristen di Indonesia.
Contoh-contoh “minoritas” seperti itu di antaranya adalah pemerintahan Presiden Saddam Hussein di Irak, yang berasal dari minoritas Islam Suni. Di Yordania, pemerintahan Raja Hussein berasal dari minoritas Beduin. Rezim apartheid di Afrika Selatan dulu adalah kelompok minoritas kulit putih. (Bersambung)





Apakah kedua kelompok itu juga termasuk kelompok sosiaL?
Ya, tentu saja di kategorikan sebagai kelompok sosial
Minoritas ialah kelompok sosial yang tak menyusun mayoritas populasi total dari voting dominan secara politis dari suatu kelompok masyarakat tertentu.Minoritas dapat pula merujuk ke kelompok bawahan maupun marginal. Minoritas sosiologis tak perlu bersifat numerik sebab dapat mencakup kelompok yang di bawah normal dengan memandang pada kelompok dominan dalam hal status sosial, pendidikan, pekerjaan,kekayaan, dan kekuasaan politik.Istilah "kelompok minoritas" sering diterapkan bersama dengan wacana hak asasi manusia dan hak kolektifyang mengemuka di abad ke-20.

BAGAIMANA HUBUNGAN ANTARA KEDUANYA?
Mayoritas dan Minoritas
Kinloch berpendapat bahwa kelompok orang yang disebut sebagai mayoritas adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, menganggap dirinya normal dan memilik derajat lebih tinggi. Sedangkan kelmpok lain yang dianggap sebagai kelompok minoritas adalah mereka yang tidak memiliki kekuasaan, dianggap lebih rendah karena memiliki ciri tertentu: cacad secara fisik ataupun mental sehingga mereka mengalami eksploitasi dan diskriminasi. (Kinloch, 1979: 38)
Konsep mayoritas disini didasarkan oleh dominasi kekuasaan, bukan dominasi oleh jumlah anggota. Kelompok mayoritas bisa saja berjumlah lebih kecil daripada minoritas. Sebagai contoh adalah saat politikapartheid dicanangkan di Afrika Selatan, jumlah orang berkulit putih lebih sedikit daripada jumlah orang berkulit hitam. Akan tetapi kelompok kulit putih memiliki kuasa terhadap kelompok kulit hitam. Selain itu, hubungan antarkelompok yang didasarkan konsep mayoritas dan minoritas dipengaruhi juga oleh konsep kebudayaan mayoritas dominan (dominant majority culture) yang diangkat oleh Edward M. Bruner.[4] Sebagai contoh adalah di kota Medan terdiri atas sejumlah kelompok minoritas tanpa adanya suatu kebudayaan yang dominan sehingga berkembang persaingan yang ketat antara setiap etnik, dan hubungan antar etnik terjadi ketegangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar